Si Kecil Mungil

Telah menceritakan ini, di hadapan teman-teman kecilku di kelas Laksamana Cheng Ho. Sebenarnya ada lanjutannya. Namun, kisahnya dengan hikmah yang sama. Semoga bermanfaat.

*****@*****

Di tepi sebuah hutan, hiduplah seorang pemuda. Pemuda yang istimewa. Namanya, si Kecil Mungil. Disebut seperti itu, karena tubuhnya yang kecil mungil. Kaki yang kecil mungil. Tangan yang kecil mungil. Kepala yang kecil mungil. Mata yang kecil mungil. Hidung yang kecil mungil. Bibir yang kecil mungil. Semua bagian tubuh yang tentu saja kecil mungil.

Di hari yang cerah. Kala langit biru bersih, si Kecil Mungil pergi bermain ke tepi sebuah sungai. Air sungai sungguh jernih. Si Kecil Mungil melempari batu-batu kecil dari tepi sungai ke arah arus air yang tidak deras. Hingga muncullah bunyi kecipak air yang terpecah. Saat itu, lewat seekor kuda yang kemudian melihat Kecil Mungil yang sedang bermain.

”Huahahahaha.. tubuhmu kecil sekali.”, kata si Kuda
”Lalu mengapa kalau tubuhku kecil..?”, Kecil Mungil menatap Kuda dengan pandangan tajam.
”Hehehe.. jangan tersinggung ya. Dengan tubuh sekecil itu, kau tidak akan bisa lebih cepat dariku, untuk sampai ke lembah sebelah sana.”, ejek si Kuda sambil terkekeh.

Kecil Mungil, memandang ke arah yang ditunjuk oleh Kuda. Lalu berkata,

“Siapa bilang begitu..? Tentu saja aku bisa lebih cepat.”, ujar Kecil Mungil.
”Hahahahaha.. aku ini, kuda tercepat di kelompokku. Makhluk sekecil dirimu, tidak akan mungkin mengalahkan kecepatanku. Kau ini, ada-ada saja.”, Kuda mencibir ke arah Kecil Mungil.
”Hmm.. kita buktikan saja. Bagaimana kalau pekan depan, kita berlomba cepat-cepatan. Siapa yang sampai lebih dulu di lembah, dialah pemenangnya.”, tantang si kecil mungil.
”Aku pasti menang, karena aku tinggi dan besar. Juga paling cepat. Kecil Mungil seperti dirimu ini, tidak ada apa-apanya dibandingkan diriku.”, Kuda menyombongkan dirinya. ”Kita bertemu di sini pekan depan. Bersiaplah untuk kalah. Huh..!!”, Kuda memalingkan muka, dan berlalu pergi.

Dalam perjalanan pulang ke rumah. Kecil Mungil berpikir. Bagaimana caranya, aku bisa lebih cepat dari Kuda ya..?? Kecil Mungil terus berpikir.

(Pertanyaan ini aku ajukan kepada teman-teman kecilku, yang kemudian antusias memberikan jawabannya. ”Berpikir.. berpikir.”, kataku. ”Sepeda motor, bu.”. ”Berpikir.. berpikir.”, kataku lagi. ”Motor Rossi, bu.”, “Ayooo, berpikir lagi.”, pancingku. ”Pesawat jet, bu.”, “Terus berpikir.”, kataku. ”Mobil, bu.” dan beberapa jawaban yang lain)

Setelah diskusi pendek antara si Kecil Mungil dengan teman-teman kecilku. Maka diputuskan, Kecil Mungil akan menggunakan mobil sebagai alat balapannya dengan si Kuda.

Hari balapan tiba. Kuda telah sampai lebih dulu di tepi sungai. Dia melihat kedatangan Kecil Mungil yang berada di dalam sebuah benda aneh.

”Benda aneh apa yang kau pakai itu..?”, tanya Kuda.
”Ini namanya, mobil.”, jawab Kecil Mungil.
“Kau pikir bisa mengalahkan aku dengan benda kotak ini.”, Kuda meringkik, mengangkat kakinya tinggi, sambil menggeleng-geleng. “Ayo kita mulai saja. Tidak sabar aku melihat kau kalah. Huwahahaha.”

Balapan pun dimulai.

Kuda melaju lebih dulu. Dia berlari sekencang mungkin. Hingga dilihatnya, benda aneh yang disebut mobil itu, mulai mendekat.

Kecil Mungil menengok Kuda dari jendela mobilnya. “Kudaaaa, perhatikan ya, ini namanya gaaaaassssss.”, Kecil Mungil menginjak gas mobilnya agar berjalan lebih cepat dan sampai di lembah tujuan lebih dulu.

(By Afi)

*****@*****

Orang-orang sombong, menggunakan otaknya hanya untuk mengingat kemampuan yang ada pada dirinya. Dan mereka hanya mengetahui, sebatas apa yang mereka mampu. Mereka tidak merasa perlu memiliki lebih dari yang dimilikinya. Karena, sudah cukup bagi dirinya. Sehingga ia, tak akan melihat ada kemampuan lain yang melebihi kemampuannya.

Sedangkan seorang yang terlepas dari kesombongan, menggunakan otaknya untuk mencari hal lain, yang akan membuat kemampuannya semakin baik. Ia menyadari bahwa kemampuannya bukanlah apa-apa. Bahwa, jika ia adalah puncak gunung, maka di atasnya ada langit. Jika ia langit pertama, maka ada langit yang kedua. Jika ia ada di langit kelima, sesungguhnya.. langit itu ada tujuh. Yuk! Lanjutin baca “Si Kecil Mungil”  »»

Kalah Perang

Bila saja webcam di laptop yang sedang kugunakan, kuaktifkan, tentu dia telah merekam tiap rinci ekspresi malasku yang sepanjang hari ini terduduk di depan si acer milik abangku. Mulai dari wajah ceria, wajah tidak bersemangat hingga mimik wajah menahan kantuk yang hebat. Aku sendiri tidak tahu seperti apa wajahku dengan mata sayu yang dipaksa-paksakan terbuka. Bola mata yang kudapatkan dari orang tua asli suku Minang pesisir, mungkin saat ini tampak layaknya keturunan cina saja, terbuka kecil seperti mengintip. Bedanya, sipit yang dihasilkan tidak menarik, tidak cerdas tatapannya melainkan kosong. Cuaca lembab, angin dingin yang diam-diam menyelusup masuk dari celah ventilasi warnet, memperparah mata ini! Dan disaat yang bersamaan tubuhku tak lagi mampu bertahan tegak, seakan turut saja perintah si otak: tidurlah!

“mba..”

“MasyaAllah aku tertidur!” Yuk! Lanjutin baca “Kalah Perang”  »»

The Power of Iseng (Pengalaman Pribadi yang Semoga Menginspirasi)

Kemarin lusa, tidak sengaja saya menemukan blog seorang teman yang tidak punya tampang seorang penulis. (Apakah bikin blog harus punya tampang penulis?) Ya memang tidak, sih. Tapi biasanya orang yang doyan nge-blog itu kan suka menulis. Paling tidak, nulis tutorial lah (yang mungkin juga copy paste).

Well, back to my friend. Biar sedikit saya ceritakan tentang dia. Dia seorang cowok kuliah-an. Menurut pandangan saya (yang memang sering kali salah ini) dia bukanlah seseorang yang punya ‘sixth sense’ yang notabene dimiliki para penulis. (Cara-pandang-unik-dan-lain adalah sixth sense-nya para penulis bagi saya. hehe). Tapi, ketika melihat tulisannya di blog, pandangan saya terhadapnya langsung berubah 180 derajat.

Tulisannya memang biasa. Masih butuh banyak pembenahan di sana-sini. Entah itu menyangkut penataan kata atau tanda baca. Interest-nya juga kurang. Saya merasa bisa membenahinya jadi lebih sempurna. Apa saya memang bakat ngedit, ya? Tapi tidak. Saya tidak mau cuma jadi editor. Karena saya ingin jadi penulisnya, bukan sekadar pembenah. Memang gampang menilai tulisan orang lain. Tapi membuatnya sendiri?

Inilah pukulan telak bagi saya. Mau komentar tentang tulisan orang lain, sementara blog saya sendiri? Melompong. Ironis…. Saya merasa salut terhadap teman saya ini. Tidak disangka-sangka, ternyata dia punya tulisan juga. Sebagai orang yang ngaku penulis, tentu saja saya malu. Hmph….

Dari sini saya mempelajari satu hal. Ternyata motto ‘write is not my hobby, but it’s my life style’ saja belum cukup untuk mengubah mental saya menjadi penulis yang menulis (karena selama ini saya masih berkhayal, belum nulis beneran). See, my blog is empty. Yang ada di sana adalah tulisan-tulisan lama saya yang ‘terpaksa’ diposting demi mengisi blog agar tidak kelihatan sia-sia banget. Padahal kalau saya jalan-jalan ke ‘rumah’-nya blogger lain, tulisan mereka selalu update meski topik yang dibicarakan masih itu-itu saja. Hm… saya baru sadar kalau saya ini terlalu perfeksionis sebagai penulis.

Dalam menulis, saya memang punya motivasi, saya punya tujuan. Tapi kenapa tidak ada tulisan yang tertuang? Setelah saya telisik-telisik lagi ke dalam diri, sepertinya ada sesuatu yang dipaksakan di sini. Saya harus menulis! Kalimat itulah yang ternyata ‘menekan’ saya selama ini. Memang ia adalah motivasi yang mengharuskan tangan saya untuk terus menulis. Tapi di alam bawah sadar, sebenarnya jiwa saya menolak. Dasarnya saya sendiri bukan orang yang bisa dipaksa. Maka saya pun mencari cara alternatif untuk membuat diri sendiri mau menulis.


Iseng.
Orang tak pernah tertekan setiap melakukan perbuatan iseng. Orang tak usah berpikir panjang untuk berbuat iseng. “Halah, cuma iseng ini.”
Seperti istilah, nothing to lose aja gitu. It’s easy. Fun. Free. No pay.
“Iseng ah, ngisi TTS. Daripada ngelamun….”
“Wih, ada lomba nih. Iseng ah ngirimin. Siapa tau menang. Kan lumayan.”
“Wah, ngeblog ni ye sekarang?” “Ah, iseng aja. Siapa tau berguna.”

…dan sederetan contoh iseng-iseng lainnya.


Ada istilah keren yang masih terkenal hingga sekarang yaitu iseng-iseng berhadiah.
Ternyata dari jaman dulu kegiatan iseng ini sudah ‘dinobatkan’ lho sebagai kegiatan yang bisa mendatangkan HADIAH! Atau lebih tepatnya dido’akan supaya menguntungkan bagi yang berbuat. Entah siapa pencetus kalimat ampuh itu. Tapi yang pasti, ini adalah mantra buat saya bergerak!

Mungkin buat sebagian orang ini bukanlah hal yang wah! Toh dari kita juga sudah banyak yang mengenal tips-tips agar rajin nulis. Betul? Tapi bagi saya pribadi atau mungkin ada orang lain yang merasa ‘senasib’ dengan kemalasan saya, ungkapan ‘iseng-iseng berhadiah’ ini bisa sangat berguna sekali. (sangat dan sekali).

Sebenarnya, energi apakah yang terkandung di dalam perbuatang ‘iseng’ ini? It’s easy. Fun. Free. No pay.
No pay!
Free!
Hati kita seperti ikhlas melakukannya…. Ikhlas! Itulah kuncinya. Ada energi besar dalam setiap perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas, tanpa beban. Pasrah.

Apakah ini ada hubungannya dengan quantum ikhlas? Apa korelasi antara perbuatan iseng dengan energi ikhlas?
Tunggu saja tulisan saya selanjutnya.


Well, saya jadi teringat kata banyak penulis sukses, “Kalau mau nulis, nulis aja. Gak usah mikir.”
Sudah saya coba terapkan ini tapi ternyata tidak gampang juga. (Apa dasar saya yang terlalu malas, ya? Hh….) Jadi, mulai sekarang saya mengatakan pada diri sendiri setiap kali ada ide,

“Iseng ah nulis…. Siapa tahu ntar ada yang terinspirasi….”
(hehe)


Selamat iseng.

Cheers up!
Lana Azkia
Yuk! Lanjutin baca “The Power of Iseng (Pengalaman Pribadi yang Semoga Menginspirasi)”  »»

Burung Paling Hebat


Dua anak burung sedang bertengger di dahan pohon. Mereka adalah Qori kutilang dan Aswad si beo. Mereka saling menceritakan tentang ibu mereka. Membanggakan kehebatan ibunya kepada yang lain.

“Aswad, kamu pernah lihat ibuku tidak ?” Tanya Qori.

“Iya, sudah pernah” Jawab Aswad. “Memangnya kenapa sih ?” Tanya Aswad.

“Ibuku adalah burung paling cantik. Kamu pasti sudah melihat warna bulunya. Indah kan?” Qori menggetarkan seluruh tubuhnya. Tentu saja karena Qori bangga sekali terhadap ibunya.

“Ooo, karena itu.” Aswad menganggukkan kepalanya. “Tapi, masih lebih hebat lagi ibuku. Ibuku, bulunya hitam mengkilat. Dan, yang lebih hebat lagi. Ibuku sangat pandai mengucapkan banyak bahasa manusia.” Kata Aswad. “Suatu hari nanti, aku juga akan seperti ibuku lho.”

Saat Qori dan Aswad, sedang asik menyebutkan kehebatan ibu mereka. Tiba-tiba, terdengar sebuah suara. “Ku ku…ku ku. Masih ada burung yang lebih hebat.” Ternyata suara itu, milik seekor burung hantu tua, bernama Oldi. Oldi tinggal di sebuah lubang, di pohon tersebut. Qori dan Aswad, menghampiri lubang tempat Oldi tinggal.

“Memangnya, ada burung yang bulunya lebih indah dari bulu ibuku, pak Oldi?” Tanya Qori.

“Iya pak Oldi. Apakah ada, burung lain yang bisa berbicara seperti ibuku.” Aswad ikut penasaran.

“Ha ha ha ha. “ Pak Oldi tertawa. Tawanya sampai membuat tubuh gempal yang dibalut bulu yang mulai kusam itu, berguncang.

“Iiih, pak Oldi. Ditanya kok malah tertawa. Memangnya, burung apa sih pak Oldi, yang lebih hebat dari ibu kami.” Kata Aswad.

“Qori dan Aswad, mau tidak mendengar sebuah kisah tentang burung paling hebat?” Tanya pak Oldi.

“Mau mau, pak Oldi. Ayo ceritakan.” Sambut Aswad dan Qori, bersemangat. Mereka ingin sekali mengetahui, burung apa sih, yang lebih hebat dari ibu mereka.

“Baiklah…” Kata pak Oldi.

Pak Oldi mulai bercerita.

Beberapa tahun yang lalu, hidup seekor burung.. Namanya Cilika. Selain bertubuh kecil, Cilika berkepala botak. Kepalanya, memang tidak ditumbuhi bulu. Dan, itu membuat Cilika dijauhi oleh burung-burung lain. Mereka selalu mengejek dan menertawakan kepala Cilika yang botak. “Kepala botak. Kepala botak.” Demikian mereka mengejek Cilika. Cilika sangat sedih dengan sikap teman-temannya. Karena malu, diejek, kemana-mana Cilika selalu sendirian. Bermain, terbang dan mencari makan. Selalu sendiri.

Suatu hari, Cilika sedang mencari makan. Sudah beberapa jam ia berkeliling mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk mengisi perutnya. Namun, dia belum juga mendapatkan makanan. Sedangkan perutnya sudah mulai sakit, karena sejak pagi belum diisi.

“Eh, apa itu ?” Cilika melihat sesuatu yang bergerak-gerak, di bawah sebuah batu. Wah, itu seekor cacing. Cacing itu pasti sangat lezat. Pikir Cilika. Cilika mendekati cacing tersebut. Saat ia sudah dekat, Cilika melihat cacing itu menggeliat kesakitan.

“Aduh, tolong aku. Tolong singkirkan batu ini dari tubuhku.” Cacing itu meringis.

“Bagaimana batu itu bisa menimpamu? Tanya Cilika. Ia merasa kasihan pada cacing kecil itu.

“Tadi, ada manusia yang melewati jalan ini. Kakinya menendang batu, yang kemudian menimpaku.” Kata si cacing.

Cilika memandangi cacing itu. Akhirnya, ia membantu cacing tersebut melepaskan diri, dengan menyingkirkan batu yang berada di atas tubuhnya.

“Terima kasih, burung yang baik. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu.” Cacing itu bergegas pergi, meninggalkan Cilika yang masih kelaparan.

Cilika merapatkan sayapnya, untuk menekan perutnya yang sangat lapar. Ah, aku pergi ke kebun jagung, milik pak tani saja. Biasanya, di sana banyak biji jagung yang berjatuhan. Cilika pun, segera mengepak sayapnya, menuju ke kebun pak tani.

Sesampainya di kebun pak tani, Cilika merasa kecewa. Ternyata, kebun jagung pak tani, baru saja dipanen. Dan, beberapa ekor burung lain, telah menghabiskan biji-biji jagung yang berjatuhan. Cilika kembali terbang. Ia mempertajam penglihatannya. Walaupun, kepala dan perutnya terasa sakit sekali. Kemudian tampak olehnya, sebuah kolam kecil. Yang di dalamnya, tengah berenang, beberapa ekor ikan. Cilika memandangi calon makanannya dari udara. Ia menukik ke bawah dengan cepat. Hap! Seekor ikan, telah berhasil ditangkap olehnya. Namun…

“Burung yang baik, tolong jangan makan aku. Aku masih punya anak-anak, yang harus aku besarkan. Bagaimana nasib mereka, jika kau memakanku?” Kata ikan tersebut sambil menangis.

Karena kasihan, akhirnya Cilika melepaskan ikan itu, kembali ke kolam. Ikan itu berkata, “Terima kasih burung yang baik, aku akan membalas kebaikanmu.” Dan ikan kecil itu, berenang masuk ke dalam air.

Cilika masih kelaparan. Ia terlihat lelah. Dan sudah tidak memiliki tenaga untuk kembali terbang. Ia mencoba tidur di sebuah dahan pohon. Karena hembusan angin yang sepoi-sepoi, Cilika pun tertidur. Dalam tidurnya, Cilika bermimpi. Ia berada di sebuah lapangan luas, yang dipenuhi makanan. Dalam mimpinya, Cilika makan dengan lahap. Sedang sibuk Cilika menghabiskan makanannya. Tiba-tiba, terdengar suara keras. “Tolong. Tolong.” Cilika kaget. Terbangun dari tidur dan mimpinya. “Suara siapa itu.” Pikir Cilika. “Tolong. Tolong.” Cilika segera terbang, mencari asal suara itu. Setelah beberapa saat mencari. Cilika melihat, seekor merak yang sedang meronta, di dekat sebuah pohon. Ternyata, bulunya yang panjang tersangkut di sebuah dahan rendah. “Tolong aku.” Katanya memelas. “Tenang. Aku akan menolongmu. Jangan bergerak.” Kata Cilika. Cilika melepaskan bulu itu, dengan menggunakan paruhnya. Akhirnya, merak itu pun bebas. “Terima kasih burung yang baik.” Dan merak itu pun pergi. Tapi, Cilika kembali merasakan kelaparan.

Cilika memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah. Cilika melihat banyak binatang, berkumpul di depan rumahnya. Ada apa ya? Saat Cilika mendarat. Seekor binatang berseru. “Hei, itu Cilika.” Semua binatang yang hadir berpaling. Dan saat melihat Cilika, mereka membuat suara-suara yang ramai sekali. Ada yang menghentakkkan kaki mereka. Sebagian mengeluarkan suara-suara yang indah. Cilika semakin heran. Dalam keramaian itu, Cilika melihat cacing kecil, yang tadi ditolongnya. Juga ada si merak cantik. Para binatang masih bersuara ramai, hingga datanglah Lio, sang raja hutan. Semua binatang hening, menyambut kedatangan raja hutan yang perkasa itu. Lio menuju sebuah batu besar. Dan berdiri di atasnya. Memandangi rakyatnya yang berkumpul. “Kalian tahu, mengapa kita berkumpul di sini?” Tanya sang raja. Para binatang mengangguk. “Aku mendengar banyak cerita. Tentang seekor burung kecil, yang suka menolong. Tapi, aku ingin, kalian mendengarnya sendiri dari mereka yang mengalaminya. “Siapa yang mau menceritakannya lebih dulu?” Lio melipat dua kaki belakangnya, untuk duduk.

Nilo, sang kuda nil, menceritakan bagaimana seekor burung kecil, pernah membantunya menghilangkan rasa gatal di badannya yang besar, dengan mematukkan paruhnya. Di lain waktu, saat Ula si ular sakit gigi, seekor burung kecil, membawakannya obat yang manjur dari hutan. Jaja si gajah, pernah kehilangan kacang kesukaannya. Dan seekor burung kecil, telah membantu untuk menemukannya. Tidak ketinggalan untuk bercerita. Cacing kecil yang di Bantu untuk melepaskan diri dari sebuah batu yang menimpanya. Juga merak cantik yang bulunya tersangkut di dahan rendah. Dan banyak lagi cerita lain. Yang membuat warga burung bangga. Tapi, mereka belum tahu, siapa burung kecil yang hebat itu. Lio kembali berdiri tegak. “Warga burung. Apakah kalian tahu, siapa burung kecil itu?” Sebagian besar warga burung menggeleng. Mereka saling memandang. “Burung kecil yang hebat itu adalah, Cilika.” Kata Lio berwibawa. Semua binatang kembali mengeluarkan suara yang ramai. Para burung pun, tidak ketinggalan. Banyak burung, yang dulu sering mengejek Cilika, juga ikut bergembira dan bangga. “Untuk itu,warga hutan akan memberikan hadiah buat Cilika.” Lio berkata lagi. Tiga ekor monyet, membawa biji-bijian yang di letakkan pada wadah-wadah dari batok kelapa. Wadah-wadah itu di letakkan di hadapan Cilika. Suasana kembali ramai. Cilika pun berbicara. “Terima kasih untuk semuanya. Juga kepada raja Lio. Tapi, saya tidak bisa memakan semua ini sendirian. Perut saya bisa sakit.” Kata Cilika. “Kamu bisa menyimpannya kan?” Kata raja Lio. “Tidak raja Lio. Aku akan mengajak semua burung untuk menghabiskannya hari ini. Ayo teman-teman, kita habiskan biji-bijian ini.” Ajak Cilika. Seketika, semua burung mengerumuni wadah-wadah tempat bijian tersebut. “Cilika kau memang burung kecil yang hebat.” Kata raja Lio.

“Sejak saat itu, tidak ada lagi, burung yang mengejek Cilika. Semua merasa bangga berteman dengan Cilika, si burung hebat.” Pak Oldi mengakhiri ceritanya.

“Wah, Cilika biar kecil suka menolong ya.” Kata Aswad.

“Iya. Walaupun pernah diejek. Cilika memaafkan teman-temannya.” Qori menimpali.

“Begitulah Aswad, Qori. Kita bisa di sebut hebat, karena kebaikan hati kita. Bukan karena bulu dan kemampuan kita untuk terbang tinggi. Kalian mau kan, menjadi burung hebat seperti Cilika?” Tanya Oldi.

“Mau pak Oldi. Mau.” Sekarang, Aswad dan Qori bertekad untuk menjadi burung yang suka menolong binatang lain yang mengalami kesulitan.

Niat yang baik ya. Siapa lagi, yang mau jadi hebat ?

~*~Afiani Gobel~*~ Yuk! Lanjutin baca “Burung Paling Hebat”  »»

Pelsetan

Plesetan....

Setiap daerah, mempunyai bahasa dan cara komunikasi secara berbeda, begitupun dengan cara seseorang (penulis) menyampaikan kalimat dalam tulisan nya. Ada yang mengedepankan ciri khas nya, walau ada pula yang mengikuti tata baku, menulis (menyampaikan ide dan gagasan nya) sesuai dengan aturan yang telah di tentukan baik itu dalam tanda baca, maupun kata-kata/kalimat.

Sebagai pemula, mempelajari semua itu (EYD) memang perlu. Tapi saya pikir, di saat tertentu, semua itu bisa dikesampingkan dahulu. Kenapa?

Berbicara tentang saya sendiri sebagai pemula, (saya yakin koki-koki disini sudah mahir-mahir dech) apa yang akan saya tuliskan (ide) rasanya harus cepat-cepat disampaikan, atau paling tidak di buat garis besarnya dulu, --dimana saja: kertas buram, notes HP, atau words kalo bisa membuka kmputer-- pokoknya segera catat, sebelum ide itu hilang dan pergi. Hehe... (hafalan saya memang lemah)

Pada saat inilah, saya katakan EYD dan aturan-aturan yang mengikat dalam dunia tulis-menulis bisa saya kesampingkan terlebih dahulu (ini khusus cara saya ya, bukan/belom berarti berlaku untuk koki-koki disini).

Kenapa? Kembali kepada pertanyaan itu. Ya karena takut si ide itu keburu hilang. Itu saja jawaban saya.

Bayangkan, saat ide datang secara tiba-tiba, tapi mau menulis harus mengikuti aturan dll, harus memeriksa kebenaran kata, dll... semua itu memerlukan waktu yang cukup lama (saya katakan lagi, hapalan dan kemampuan saya memang kurang dalam hal ini) maka dari itu saya memilih kesampinkan saja dulu aturan itu, yang terpenting si ide yang tengah datang ini bisa saya simpan terlebih dahulu.

Termasuk dalam pemilihan kata, saya tidak berpikir apakah kata yang saya sampaikan itu ada/terdaftar di kamus atau tidak. Apakah bahasa baku atau tidak, yang penting saya mengerti maksudnya, maka saya pilih saja kata itu selama bisa dimengerti dan difahami maksud yang terkandung dari kata-kata yang saya pilih itu. Termasuk kata plesetan.

Ya, mungkin kata-kata plesetan itu tidak bisa di mengerti bagi setiap orang. Karena memang tidak diharuskan di pelajari :). Tapi bila dengan cara itu saya bisa menyampaikan ide, why not? Kalaupun ada yang tidak mengerti dan tidak difahami, itu urusan belakang (bisa di bahas di lain waktu) yang penting si ide tersimpan terlebih dahulu.

Begitu juga dengan kata "konsekwen" yang saya pakai dalam artikel sebelumnya yang saya "masak dan sajikan" di Dapur ini. Mba Yuher berkomentar kata yang saya pilih itu tidak di temukan di kamus manapun :)
Saya mungkin hanya bisa menjawab : itu bahasa/kata plesetan dari saya :)
Kata yang sesuai dengan EYD nya bisa kita bahas nanti, kalau ide yang saya sampaikan ini sudah rampung :)

Tapi saya pikir, maksud dan tujuan nya (walau dalam penulisan kata nya salah) kata "konsekwen" itu bisa dimengerti kan? Yuk! Lanjutin baca “Pelsetan”  »»

Sepatah Kata... Dua Patah Kata... Dusiplin Kuncinya





Sepatah kata, dua patah kata, bukan berarti selanjutnya patah-patah lalu berserakan semua, tetapi justru dari satu patah, dua patah, dan selanjutnya .... hingga berkumpul membentuk sebuah patahan kalimat, mempola paragraf, kemudian tercipta untaian dalam bentuk halaman yang jika di print akan menjadi buku.

Tidak ada pemaksaan dalam menulis. Terserah, siapa yang butuh, siapa yang bahagia, dan siapa yang terbantu, semua tidak harus.

Dalam antrian yang melelahkan dan membosankan, sepanjang apapun antrian itu, kalau kita ada maksud dan tujuan, membayar tagihan misalnya, maka selain rela menerima berada di urutan keberapa pun antrian kita, mungkin di sisi lain kita akan ada juga usaha tambahan, datang lebih pagi, misalnya --untuk mengantisipasi berada di antrian yang paling panjang-- ketika kita akan membayar tagihan untuk bulan selanjutnya.

Demikian dalam menulis, kebosanan, rasa capek, hilang ide (blank), tidak ada waktu luang, sibuk dengan aktifitas, dan alasan lain akan selalu merongrong kita. Tapi kalau kita sudah mempunyai maksud dan tujuan, kenapa saya suka menulis? untuk apa saya menulis? apa tujuan saya menulis? dlsb...alasan itu dengan sendirinya akan hilang di telan kuatnya keyakinan dan tujuan di akhir tulisan kita.

Menyempatkan waktu, mencicil, menulis topik yang ringan dan pasaran sekalipun, kalau dibiasakan dan terbiasa, itu yang akan membawa seorang penulis kepada ujung tujuan.

Jadi intinya adalah konsekwen dan disiplin. Itu saja. Sudah, tidak akan ada istilah antri apalagi alasan....

Menulis? Kenapa tidak? Bukan kah sudah berkomitmen? Sudah konsekwen?
Belom menulis juga?
Hehehe, ketahuan dech, ini dia orang nya yang belum bisa berdisiplin.....
(Nah lho! ayoooo siapa? :D)



Keelung Hospital, 12.08AM lima menit sebelum mata okti benar2 spaneng....




Yuk! Lanjutin baca “Sepatah Kata... Dua Patah Kata... Dusiplin Kuncinya”  »»

Kelunya Sang Pena



SANG PENA TERPAKU

AKSARANYA BEKU.. TAK SANGGUP MENGALIR

IA TERDIAM DI SUDUT WAKTU

HANYA BERGUMAM MENYIMPAN RINDU

PENA MERINGIS.. SAMBIL BERKATA..

"DUHAI.. AKU RINDU TEGAK BERDIRI."

MENGUNGKAP BENAR.. LAGI DAN LAGI

SAAT SI 'INGIN' MENDORONGKU TUK BERLARI

ADA SI 'NGGAK PE DE' YANG MENAHANKU

AKU KAKU TERTIDUR LESU

HANYA BERMIMPI MENGURAI CERITA

HINGGA TINTA MENGUAP KE ANGKASA

PEKAT HITAMNYA RESAH MENANTIKU

DAN IA PERGI.. TAK SABAR TUK SETIA

MULAI AKU BERKARAT

TUBUHKU SEKARAT

HANYA RUSAK DAN TINGGAL PATAH

PENA MERENUNG..

"KAPAN.. KAPAN AKU.. BISA BERBAGI..??"


~*~Afiani Gobel~*~ Yuk! Lanjutin baca “Kelunya Sang Pena”  »»
 

Pengikut

Copyright © Dapur Tulisan
Original template Minima by Douglas Bowman Edited By Agus S - Blogger - Jump to TOP